Sebagai pendidik, sangat sering saya merasa bahwa saya hanya menunaikan pekerjaan saya sebagai rutinitas belaka. Barangkali, selama ini, ketika mengajar, saya belum menerapkan pembelajaran yang meaningfull. Sungguh, saya masih terlalu sering, ketika mengajar hanya dengan metode ceramah, menyampaikan materi kimia dengan ba-bi-bu-was-wes-wos. Cepat, yang penting materinya saya sampaikan kepada siswa, tanpa mempedulikan, apakah pembelajaran kimia hari ini bermanfaat buat mereka? Cepat, yang penting target kurikulum yang dibebankan kepada saya sudah tercapai. Dan, sungguh, saya juga masih sangat sering menyamaratakan kemampuan siswa dalam pelajaran saya. Semuanya saya ajar dengan cara yang sama, dengan tugas yang sama, dengan teknik penilaian yang sama, dengan soal-soal asesmen yang sama pula! Padahal, setiap anak memiliki kecepatan belajar yang berbeda satu sama lain. Tidak boleh disamaratakan. Sekali lagi, saya masih terlalu sering melakukan pembelajaran ala-kadarnya, tak sesuai dengan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Bapak Pendidikan Nasional kita, yang memiliki filosofi luar biasa, dalam tajuk Dasar-dasar Pendidikan.
Pendidikan dan Pengajaran
Kita mungkin masih sering menyamakan 2 kata ini, yakni mengajar dan mendidik atat pendidikan dan pengajaran. Kedua kata ini, memiliki arti yang sangat berbeda. Mengajar, boleh dikata hanyalah proses transfer ilmu yang bermanfaat dari orang yang mengajar (guru) kepada orang yang diajar (peserta didik). Mengajar adalah bagian dari mendidik. Lalu apa sebenarnya makna kata mendidik/pendidikan? Menurut Ki Hadjar Dewantara, secara umum, pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Pendidikan memiliki tujuan untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak, mendampingi dan mempersiapkan mereka menjadi bagian masyarakat seutuhnya agar mencapai kebahagian baik di dunia maupun di akhirat.
Mendidik, hanyalah menuntun anak…
Setiap anak yang lahir, memiliki kodrat dan takdirnya masing-masing. Anak-anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodrat mereka yang tertulis. Sebagai pendidik kita tidak dapat merubah kodrat yang sudah tertulis pada anak. Tugas kita hanyalah menuntun dan mendampingi tumbuhnya anak-anak kita sesuai kodrat yang mereka miliki. Ki Hadjar Dewantara memberikan ilustrasi yang sangat tepat akan hal ini. Beliau mengumpamakan proses ini seperti seorang petani yang menanam padi. Padi yang ditanam petani, kodratnya adalah tumbuh menjadi padi, tidak akan tumbuh menjadi jagung atau ketela. Yang dapat dilakukan petani adalah hanya membantu benih padi tersebut agar tumbuh maksimal, hijau royo-royo, menghasilkan bulir padi yang padat dan berisi, bermanfaat untuk manusia yang mengonsumsinya. Bahkan, padi di suatu tempat dengan tempat lainnya dapat memiliki kualitas dan rasa yang berbeda-beda.
Demikian pula dengan proses mendidik peserta didik di dalam kelas. Setiap anak yang ada di kelas memiliki kodrat dalam tumbuh kembang mereka masing-masing. Tugas kita sebagai guru yang mendidik di kelas, adalah memastikan mereka mendapatkan pendampingan yang pas dan tepat dalam upaya mereka belajar. Mendampingi mereka dalam menemukan minat dan bakat. Mendampingi mereka dalam mengasah minat dan bakat mereka. Apakah kita sudah memaknai peran kita di kelas sesuai pemikiran Ki Hadjar Dewantara? Ataukah kita masih selalu memaksakan keinginan kita agar mereka menguasai mapel yang kita ajar?
Peran Menuntun
Meskipun pendidikan hanyalah menuntun, tetapi memiliki efek yang luar biasa besar bagi tumbuh kembangnya anak. Bayangkan, anak yang pada dasarnya baik, namun karena lingkungan sekitarnya jahat, Ia akan tumbuh menjadi anak yang tidak baik/jahat. Pendidikan lah dapat merawat sifat baik sang anak. Demikian pula jika anak memiliki sifat/sikap kurang baik, dengan tuntunan yang tepat, akan menjadikan anak tersebut menjadi baik.
Anak Terlahir Tidak Seperti Kertas Kosong
Anak terlahir tidak seperti kertas kosong, yang bisa kita gambar seenaknya dan sesuai dengan keinginan kita. Seringkali, kita memiliki rencana-rencana yang sedemikian indah untuk anak-anak kita, termasuk murid-murid kita, tanpa menghiraukan apakah anak kita/peserta didik kita menyukainya atau tidak. Padahal, setiap anak sudah memiliki garis-garis kodrat sendiri. Garis kodrat ini, seperti yang diungkapkan oleh KHD adalah garis-garis samar, yang bisa kita tebalkan atau tetap dibiarkan samar. Tugas pendidik adalah, menebalkan garis-garis kebaikan dalam diri peserta didik, dan membiarkan garis-garis yang dianggap sebagai karakter jahat, bahkan membiarkannya hingga tidak terlihat.
Kodrat Alam, Kodrat Zaman
Sudahkah kita membelajarkan anak sesuai dengan kodrat zamannya? Sesuai dengan perkembangan zaman di mana Ia tumbuh dan berkembang? Dalam banyak hal, tentu saja anak tahun 90-an memiliki gaya belajar yang berbeda dengan anak yang 2010-an. Jika menilik pada perkembangan teknologi yang sedemikian pesat, peran kita sebagai guru juga berubah, teurtama dalam hal gaya atau cara mendampingi anak dalam belajar. Inilah kodrat zaman, di mana kita sebagai guru wajib hukumnya untuk menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan perkembangan zamannya.
Pembelajaran kita di kelas, juga seharusnya menyesuaikan dengan kodrat alam. Anak dari lingkungan pantai, memiliki gaya belajar yang berbeda dengan anak dari lingkungan pegunungan. Anak juga berkembang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan sosial yang ada di masyarakat tempat ia tumbuh. Nilai-nilai luhur budaya dan sosial ini, mestinya kita jadikan pembelajaran berbasis konteks yang menarik buat siswa.
Berpihak Pada Peserta Didik
Pernahkah kita merefleksi diri, apakah materi yang kita sampaikan sesuai dengan kebutuhan siswa di rumah, di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka? Ataukah materi yang kita sampaikan ini ternyata tidak terlalu dibutuhkan dalam tumbuh kembang kehidupan mereka di masyarakat. Konsep pendidikan yang berpihak pada murid oleh KHD ini, tentu harus menjadi cambuk kepada kita semua sebagai guru, bahwa ketika menngajar di kelas, segala sesuatunya harus diupayakan berpihak pada peserta didik. Bukan berpihak kepada guru, atau sekolah secara umumnya.
Pendidik Itu Seperti Petani
Mengapa petani? Mengapa tidak nelayan? Petani adalah analogi yang sangat tepat sebagai peran pendidik. Petani, dalam keseharian mereka di sawah atau ladang, atau di kebun, adalah sosok yang sangat tangguh dalam melaksanakan pekerjaanya. Sebagian besar petani, tidak gampang menyerah ketika tanamannya tidak jadi panen ketika terserang hama, atau terkena bencana alam. Petani, dalam kesehariannya sangat sabar dalam merawat tanaman yang ditanamnya. Dipupuk, disiram, dijaga sedemikian rupa dengan penuh cinta. Ketika tanaman berhasil tumbuh dengan baik dan berhasil, maka disitulah kebahagiaan petani akan dipetik. Bukankah analogi ini sama seperti kita sebagai pendidik? Sebagai pendidik, kita juga harus memiliki jiwa yang sabar dalam menuntun siswa mencapai kebahagiaan tertingginya. Dengan sabar, kelak suatu ketika kita akan melihat anak didik kita menjadi manusia-manusia luar biasa yang ada di masyarakat.
Demikianlah, filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang bahkan kita baru tahu sekarang. Mari, kita semua berjanji kepada diri sendiri, untuk secara perlahan menata hati, pikiran, dan perbuatan kita dalam merencanakan pembelajaran yang berpihak pada peserta didik, menuntun mereka dengan suci hati untuk mengantarkan mereka menjadi manusia seutuhnya dan mencapai kebahagiaan yang setinggi-tingginya ketika mereka hidup bermasyarakat!
Salam dan Bahagia!